TEKS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN HMI
I. Dasar-dasar Kepercayaan
Manusia
memerlukan satu bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai
guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna
tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula
cara berkepercayan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak
dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan
kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk
kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar.
Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur
kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun
demikian kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai.
Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan
turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena
kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan
perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering
menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah
terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna
menopang peradaban manuisia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh
karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia
harus selalu beersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran
itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran
yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian
(Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan
antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan
segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan
kepercayaan kepada satu kebenaran.
Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk
manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan
itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah
Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan
adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah,
historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia
tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan
pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu
diperlukan sesuatu yang lain lebih
tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu
yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari
Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ke tingkat yang tertinggi tidak
dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang.
Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat yang dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan
Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Para Rasul dan Nabi itu
telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam
sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul
lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka
menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti “kumpulan” atau kompilasi dari segala
keterangan. Sekalipun garis-garis
besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala
sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai pada hal-hal ghaib yang
tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (al-Nahl [16]: 89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang
Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang pada al-Quran, dengan
terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua
memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia, yaitu
bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian di dalam al-Qur’an didapatkan keterangan lebih
lanjut tentang Ketuhanan
Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis-garis besar jalan
hidup yang mesti diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan
secara singkat: “Katakanlah; Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan.
Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia
berputra dan tiada pula Ia berbapa.” (al-Ikhlash [112]: 1-4). Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan
seterusnya dari segala
sifat kesempurnaan yang layaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan
seru sekalian alam.
Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir
dan Yang Bathin (al-Hadid [37]: 3), dan “Kemana pun manusia berpaling maka di sanalah
wajah Tuhan” (al-Baqarah [2]: 115). Dan “Dia itu bersama kamu dimana pun kamu berada” (al-An’am[57]: 4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan
ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang
Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada,
termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun sekaligus menuju kepada
kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridla-Nya”. Inilah kesatuan antara asal dan
tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar diterangkan dalam bagian lain).
Tuhan
menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti
(al-An’am [6]:
73, al-Furqan [25]: 2).
Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta
berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada
dirinya dan teratur secara harmonis
(al-Mu’minun [23]:
14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan
perkembangan peradabannya (Lukman [31]: 20). Maka alam dapat dan harus dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti
hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia
memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (Yunus [10]: 101).
Jika
kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau
maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu idea
atau dari Nirwana
(Shad [38]: 27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat
agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan
sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi
riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari filsafat materialisme.
Manusia
adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi... (al-Tien [95]: 4, al-Isra’
[17]: 70). Sebagai makhluk tertinggi manusia
dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi (al-An’am [6]: 165). Manusia ditumbuhkan dari
bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (Hud [11]: 16). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada
manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di
dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut sejarah.
Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya
terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang
telah ada secara otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada
sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan
tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (al-Ahzab [33]: 72). Ketidakpatuhan itu disebabkan
karena sikap menentang atau kebodohannya.
Hukum dasar alami dari segala yang ada inilah “Perubahan dan perkembangan”, sebab:
segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada
henti-hentinya (al-Ankabut [29]: 20). Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju
kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan
sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (al-Qashas [28]: 88). Di dalam memenuhi tugas
sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju
kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(al-Isra [17]:
72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang
tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya (al-Isra [17]: 36).
Oleh
karena itu hidup yang baik adalah yang
disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (Al Mujadalah [58]: 11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan
menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan
dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya
tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan
dan mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang
Maha Esa (Fushilat [41]:37).
Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan tandingan
terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik menghalangi
perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini
ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi
bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama”, atau yaum al-din, dimana Tuhan
menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja (Al-Fatihah [1]: 4, al-Haj [22]: 56, al-Mukminun [40]: 16). Disitu tidak lagi terdapat
kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang
ada adalah pertanggunganjawab individual
manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah (al-Baqarah [2]: 48). Selanjutnya kiamat merupakan
“Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadia-kejadian (al-A’raf [7]: 187).
II.
Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah
disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia
bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu
keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus
dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) (al-Rum [30]:50).
“Dhamier” atau hati nurani adalah pemancar
keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah
kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa
(al-Dzariyat [51]: 56).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan
tentang diri manusia yang secara asasi
dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi
hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya (al-Taubah [19]: 105 dan al-Najm[53]: 39).
Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri
dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkrit (al-Shaf [61]: 2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya.
Di dalam dan melalui amal perbuatan yang
berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap
kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam
dan melalui amal perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan (al-Nahl [16]:79 dan al-Nisa[4]:111).
Hidup yang
penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang
di dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang
mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya (al-Ankabut [29]: 6).
Dia
diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran (al-Nisa [4]: 125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga
sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban
dan berkebudayaan (al-Zumar [39]: 18).
Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,hikmah)
(al-Baqarah[2]:269).
Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka,
bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (al-An’am [6]: 125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar,
penahan amarah dan pemaaf (Ali Imran[3]:134). Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang
menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya
tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang
manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisikisnya
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua
kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan
kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan
melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,
menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan
individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan
sebagai anggota masyarakat. Hak
dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk
sesama umat manusia.
Baginya
tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan
jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran
niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (al-Bayyinah [98]:5).
Dia
adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar
berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari
kecenderungannya yang suci dan murni (al-Baqarah [2]: 207, al-Insan [76]: 8-9). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai
pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak
memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai
kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan (Fathir [35]: 10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang
ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan paling berharga
(al-Baqarah [2]: 264). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak
ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup
fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang
hanief atau suci.
III.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan
yang insani itu tidak mungkin ada
tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang
murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu
benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan
pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang
dari kemauan baik.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan
sekarang di dunia dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di
akhirat. Dalam aspek pertama
manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul
secara individual, dan komunal sekaligus (al-Anfal [8]: 25). Sedangkan dalam aspek kedua
manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat
baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat
tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi hanya ada pertanggungjawaban
perseorangan yang mutlak
(al-Baqarah [2]: 48, Luqman [31] :33). Manusia dilahirkan sebagai
individu, hidup di tengah alam dan mensyarat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi
individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari
kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai kemanusiaannya sendiri. Karena
individu adalah penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya,
maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi
individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan.
Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder ialah bahwa individu hidup dalam suatu hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam sebagai makhluk
sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh
karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di
tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari
kemanusiaan tidak berarti bahwa manusia
selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan.
Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
yang menguasai alam –hukum
yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri– yang tidak tunduk dan tidak pula
bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya
“keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan “takdir” (al-Hadid [57]: 22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks
hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang
tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang
kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan
akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya
sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan.
Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah pengetahuan
tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi
adanya usaha yang bebas dan dinamakan “ikhtiar” artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar
adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat
sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti
untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya.Kegiatan
merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri
(al-Rad [13]
: 11). Jadi sekalipun terdapat keharusan
universal atau takdir namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai
peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia
tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan
diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada
keharusan yang universal
itu (al-Hadid [57]: 23).
IV.
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah
jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya
bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan
keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah
kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada suatu apapun dari dunia
sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran.
Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi
tujuan hidup. Dan apabila demikian maka sesuai dengan
pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran yang terakhir
dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir
dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam
perbendaharaan bahasa dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan”. Kemudian sesuai dengan uraian Bab
I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (Lukman [31]: 30). Karena kemutlakan-Nya, Tuhan
bukan saja tujuan segala kebenaran (Ali Imran [3]:60). Maka Dia adalah Yang Maha
Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran tentang
Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang
berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau “ridha” dari-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi
karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu
berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran
itu yang terkandung di dalamnya guna mendapatkan persetujuan atau ridha kebenaran mutlak.
Dan hanya pekerjaan “karena
Allah” itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (al-Lail [92]: 19-21).
Kata
“iman” berarti percaya dalam hal ini
percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat pengabdian
diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut
Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Ali Imran [3]:
19). Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh sesama
manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah
manusia yang merdeka yang
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Ahdzab [33]: 49). Semangat tauhid (memutuskan
pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup,
kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat
sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran
akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang
sifat perorangannya adalah dari
keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini
dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan
peradaban kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality),
itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia,
antara kegiatan duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula
sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau
kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam
kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (al-Syu’ara [26]: 226).
Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak
dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu
yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh”
(harfiah; pekerjaan yang selaras dalam hal ini selaras
dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari iman (lihat al-Qur’an: ..aamanu wa a’aamilus shaalihaat, tidak kurang dari 50 pengulangan
kombinasi kata). Jadi ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam
prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan
kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada prikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha
Esa. Prikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (an-Nur [24]: 39). Oleh
karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridha dari-Nya
adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan
akhirnya membawa keruntuhan peradaban (al-Baraah [9]: 109).
“Syirik” merupakan kebalikan dari tauhid,
secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik
adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran
baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan
kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Lukman [31]: 13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan
dilakukan orang karena syirik (al-An’am [6]: 82). Sebab dalam melakukan kejahatan
itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. (Hadis: “sesungguhnya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik
kecil,yaitu riya, pamrih” (Rawahu Amad, hadis hasan)Dia bekerja bukan karena nilai
pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari syirik. Seseorang yang
menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik,
sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (Ali Imran[3]:64). Demikian
pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator)
adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat
dengan Tuhan (al-Qashash [28]: 4). Kedua
pelaku itu merupakan pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.
Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil
(wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan i’tikad
baik dan lebih baik (ihsan). Maka Ketuhanan menimbulkan
sikap yang adil dan baik kepada manusia (al-Nahl [16]:90).
V. Individu
dan Masyarakat
Telah
diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan
bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu
yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia
hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai
makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa
berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka
dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi
dengan lainnya (al-Zuhruf [43]: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa
kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda (Al-Maidah [5]: 48).
Pemenuhan
suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya (al-Lail [92]: 4). Namun sejalan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus
diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah
dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (al-Isra [17]: 84, al-Zummar [39]:
39). Peningkatan kemanusian tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap
orang keluasan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja
yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah
makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik
kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan
yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah merugikan orang lain
(kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Yusuf [12]: 53 dan Rum [30] : 29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga
berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak
terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan antara
hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi
persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya
dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas
tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi
oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti
pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan
dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip
keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling
menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain
untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan tingkat yang
sama. Anggota-anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk
masyarakat yang bahagia (al-Maidah [5]: 5).
Sejarah
dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan
pasif, tetapi
sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala
(akibat baik) bagi satu
amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (al-Zalzalah [99]: 7-8).
Manusia
merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dan
dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (al-Taubah [9]: 74 dan al-Nahl [16] : 30). Semakin seseorang
bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang
terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati
tujuan (al-Ankabut [29]:
69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat
sepenuhnya dinyatakan. Jika
ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup
gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (al-Hujurat [49]:13 dan 10).
VI.
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah
kita bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarakat dimana kemerdekaan
dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika
kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang
bermacam-macam itu satu sama lain dalam
kekacauan atau anarchi
(al-Lail [96]:
8-10). Sudah barang tentu hal itu
menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan
keadilan dalam masyarakat (al-Maidah [5]:8).
Siapakah yang
harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah barang pasti adalah
masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok
dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa
mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan
sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang
berlawanan dengan kemanusiaan (Ali Imran [3]: 104).
Kualitas
terpenting yang harus dipunyai ialah rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran dari
kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan
yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau
setida-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga
agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan
pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab
itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan
fundamental dari didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi
manusia yang menjadi warga negara dari
kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia,
sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam
masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi
yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadis: “kullukum raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an
raiyyatih”, Bukhari-Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah
merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri.
Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah
dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (al-Syura [42]: 38, 42).
Kekuatan yang sebenarnya di dalam
negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada
rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan
dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu).
Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung
tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat
rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan (al-Nisa [4]: 59).
Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada
diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar,
ketaatan kepeda pemirantah termasuk dalam lingkungan ketaatan
kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak)
(al-Nisa [4]: 58).
Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan,
kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Maidah [5]: 45).
Perwujudan
menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan
di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat.
Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau
rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah
merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari
pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (al-Hadid [57]: 20). Karena kemerdekaan tak
terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan
kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu bila sudah mencapai batas maksimal– pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (al-Isra [4]: 16).
Dalam
masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas
dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran
atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada
di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan
antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi. Dikarenakan
kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentang itu disudahi dengan
kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk
pimpinan dalam masyarakat (al-Nisa [4]: 160-161, al-Syu’ara
[26]: 182-183, al-baqarah [2]: 279, al-Qashash [28]: 5).
Kejahatan
di bidang ekonomi yang menyeluruh
adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kepitalisme dengan mudah seseoranmg dapat memeras orang-orang
yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas
hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan
kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh
karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi
kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (al-Baqarah [2]: 278-279). Sesudah syirik kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang
tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (al-Humazah [104] : 1-3). Maka menegakan keadilan inilah
membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan
memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya
secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk
penindasan kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan (nahi mungkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi
atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang
tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan
cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan)
(Ali Imran [3]:
110).
Pembagian
ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha
Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama
sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal
perbuatan yang nyata (al-Shaf [61]: 2-3).
Dalam
suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk
tunduk dan menyerahkn diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta
benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru
dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari kapital itu selanjutnya
lebihmemperbudak buruh.
Demikian pula
terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang
menguasainya Kapital atau
kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh
karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar
sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif
terhadap pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara
mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang
kontinu, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar
akan lebih efektif
dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah
kekejian dan kemungkaran (al-Ankabut [29]:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadis: “Sembahyang adalah tiang agama, barang siapa
mengerjakannya berarti menegakkan aaSembahyang adalah tiang agama, barang siapa
mengerjakannya berarti menegakkan agama, barang siapa meninggalkannya berarti
merobohkan agama”.Bukhari).
Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan
kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu
kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Lukman [31]: 30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain, dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu
keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhaap
kemanusiaan.
Dalam
masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan
kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan
dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari kemampuan-kemampuan pribadi,
fisik maupun mental (al-Rum [30]: 37).
Walaupun
demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat.
Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan
miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas harta
yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat
tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu
masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi
didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia
oleh manusia dihapuskan
(al-Baqarah [2]: 188).
Sebagaimana
ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konsfikasi
penggunaan
dalam masyarakat (al-Furqan [25]: 67). Seseorang dibenarkan
mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas
tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan yang
berlebihan (tabzier atau
israf) bertentangan dengan prikemanusiaan
(al-Isra [17]:
26-27). Kewenangan
selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan masyarakat membuat
akibat destruktif (al-Isra’ [17]: 16) Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat
(taqti) merusakan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang
dapat digunakan untuk manfaat bersama (Muhammad [47]: 38).
Hal
itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan
ini adalah milik Tuhan (Yunus [10]: 55). Manusia seluruhnya diberi hak
yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas kekayaanitu
dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (al-‘Araf [7]:
10).
Pemilikan
oleh seseorang (secara benar) hanya
bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri
harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum (al-Hadid [57]: 7, al-Nur [24]:
33). Maka kalau terjadi kemiskinan,
orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat
dalam hubungan keluarga (al-Ma’arij [70]: 24-25). Adalah kewajiban negara dan
masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan
dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat
menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan
kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan
beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari
seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa
inti dari kemanusiaan
yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh (al-Tien [95]:6).
Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang
terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap
prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh
manusia ?
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak ke depan demikian pula perjalanan umat manusia atau sejarah
adalah gerak maju ke depan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu
berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan)
(al-Qashash [28]
:8 8). Jadi semua nilai yang benar
adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum Tuhan
(al-An’am [6]:
57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan medereka ialah yang bergerak. Gerak itu
tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak
statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (al-Isra’ [17]:36). Dia menghendaki perobahan
terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa
mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu
menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu
pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenran
dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak
sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju
kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat
dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh
alam dan sejarahnya sendiri (Fushilat [41]: 53).
Jadi
ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang
dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang
menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Eesa (Fathir [35]: 28). Dengan iman dan kebenaran
ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (Mudjadalah [58]: 11).
Ilmu pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh
manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan
yang benar antara manusia dan alam
sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang
lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan
tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan
menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi
kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali
mengerahkan kamampuan intelektualitas atau ratio (al-Jasiyah [45]: 13).
Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang
tetap (Ali Imran [3]: 137). Hukum sejarah yang tetap
(sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis
besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamanusiaan
fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa
nafsu (al-Syam [91]: 9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang
lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus
ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan
memperhitungkan masa yang akan datang (Yusuf [12]: 111). Menguasai
dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya
dan membimbingnya ke arah kamajuan dan kebaikan.
VIII.
Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara
garis besar sebagai berikut:
a.
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu
taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu
memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal soleh. Iman
tidak memberi arti apa-apa
bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang
sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban
dan berbudaya.
b.
Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada
Tuhan. Ibadah
mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh
kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief.
Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadah menjadi wewenang penuh dari agama tanpa adanya hak manusia untuk
mencampurinya. Ibadah
yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya ditengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan
merugikan kamanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya
sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk memiliki
kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata.
c. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam
usaha yang sungguh-sungguh secara essesial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat
sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan
masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usah itu
ialah “amar ma’ruf”, di samping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau “nahi
munkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan
kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha
kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai
manusia.
d.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan
“jihad”, yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan
ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar
kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan
keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan
dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi
berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh
dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang
tinggi, dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi
kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang
benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
e.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan
proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah
kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui
arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu
mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu
tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak
akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan
adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu
pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan
perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian
mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.
f.
Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman,
berilmu, dan beramal”.
Rujukan NDP
Dar-dasar kepercayaan
AnNahl ayat 80, Al-Ikhlas, Alhadid
ayat 3-4, Albaqarah ayat 113, Al-An’am ayat 73, Al-Furqan ayat 2, Al-Mu’minun
ayat 14, Luqman 20, Yunus ayat 101, Shad ayat 27, At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat
70, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61, Al-Ahzab ayat 72, Al-‘Ankabut ayat 20,
Al-Qashash ayat 88, Al-Isra’ ayat 36, Al-Mujadalah ayat 11, As-Sajadah ayat 37,
Al-Fatihah ayat 4, Al-Hajj ayat 56, Al-Muknin ayat 16, Al-Baqarah ayat48,
Al-‘Araf 187.
Pengertiandasr tentang kemanusiaan
Ar-Ruum ayat 30, Adz-Dzariyah ayat
56, Ali Imran ayat 134 dan ayat 156,
At-Taubah ayat105, An-najm ayat 39, As-Shof ayat2-3, An-Nahl ayat 97, An-Nisa
ayat 111 dan ayat 125, Al-Ankabut ayat 6, Az-Zumar ayat 18, Al-baqarah
ayat 207, 264, dan ayat 269, Al-An’am
ayat 125, Al-Bayyinah ayat 5, Al-Insan ayat 8-9, Fathir ayat 10.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan
Keharusan Universal (Takdir)
Al-Anfaal ayat 25, Al-Baqarah ayat
48, Luqman ayat 33, Al-Hadid ayat 22-23, Ar-Raad ayat 11.
Ketuhanan YME dan Prikemanusiaan
Luqman ayat 13 dan ayat 30, Ali Imran ayat 19-21 dan ayat
64, Al-Ahzab ayat 39, Asy-Syu’araa ayat 226, An-Nuur ayat 39, At-Taubah ayat
109, Al-Qashash ayat 4, An-Nahl ayat 90.
Individu dan Masyarakat
Az-Zukhruf ayat 32, Al-Maidah
ayat 2 dan ayat 48, Al-Lail ayat 4,
Al-Isra’ ayat 84, Az-Zumar 39, Yusuf ayat 53, Ar-Ruum 29, Al-Zalzalah ayat 7-8,
At-Taubah ayat 74, An-Nahl ayat 30, Asy-Syu’araa ayat 69, Al-Hujarat ayat 13
dan ayat 10.
Keadilan Sosial dan Ekonomi
Al-lail ayat 8-10, Al-Maidah ayat 8
dan ayat 45, Ali-Imroon ayat 104 dan ayat110, Asy-Syuraa ayat 38 dan ayat 42,
An-Nisa ayat 58-59, Al-Hadiid ayat 7 dan
ayat 20, Al-Isra’ ayat 16, An-Nisa’ ayat
160-161, Asy-Syu’araa ayat 182-183, Al-Baqarah ayat 279, Al-Humazah ayat 1-3,
Ash-Shaf ayat 2-3, Al-Ankabut ayat 45, Luqman ayat 30, Ar-Ruum ayat 37,
At-Taubah ayat 60, Al-Baqarah ayat 188, Al-Furqaan ayat 67, Al-Isra’ ayat 16,
Muhammad ayat 38, Yunus ayat 55, Al-A’raaf ayat 10, An-Nuur ayat 33,
Al-Ma’aarij ayat 24-25.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
At-Tiin ayat 6, Al-Qashash ayat 88,
Al-An’am ayat 57, Al-Isra’ ayat 36, As-Sajadah ayat 53, Fathir 28, Ali-Imran
ayat 18 dan ayat 137, Al-Mujadalah ayat 11, Al-Jatsiyah ayat 13, Asy-Syams
9-10, Yusuf ayat 111.
TEKS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN HMI
I. Dasar-dasar Kepercayaan
Manusia
memerlukan satu bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai
guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna
tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula
cara berkepercayan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak
dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan
kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk
kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar.
Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur
kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun
demikian kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai.
Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan
turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena
kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan
perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering
menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah
terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna
menopang peradaban manuisia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh
karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia
harus selalu beersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran
itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran
yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian
(Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan
antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan
segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan
kepercayaan kepada satu kebenaran.
Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk
manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan
itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah
Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan
adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah,
historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia
tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan
pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu
diperlukan sesuatu yang lain lebih
tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu
yang diperlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari
Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ke tingkat yang tertinggi tidak
dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang.
Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat yang dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan
Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Para Rasul dan Nabi itu
telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam
sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul
lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka
menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti “kumpulan” atau kompilasi dari segala
keterangan. Sekalipun garis-garis
besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala
sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai pada hal-hal ghaib yang
tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (al-Nahl [16]: 89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang
Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang pada al-Quran, dengan
terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua
memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia, yaitu
bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian di dalam al-Qur’an didapatkan keterangan lebih
lanjut tentang Ketuhanan
Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis-garis besar jalan
hidup yang mesti diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan
secara singkat: “Katakanlah; Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan.
Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia
berputra dan tiada pula Ia berbapa.” (al-Ikhlash [112]: 1-4). Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan
seterusnya dari segala
sifat kesempurnaan yang layaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan
seru sekalian alam.
Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir
dan Yang Bathin (al-Hadid [37]: 3), dan “Kemana pun manusia berpaling maka di sanalah
wajah Tuhan” (al-Baqarah [2]: 115). Dan “Dia itu bersama kamu dimana pun kamu berada” (al-An’am[57]: 4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan
ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang
Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada,
termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun sekaligus menuju kepada
kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridla-Nya”. Inilah kesatuan antara asal dan
tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar diterangkan dalam bagian lain).
Tuhan
menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti
(al-An’am [6]:
73, al-Furqan [25]: 2).
Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta
berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada
dirinya dan teratur secara harmonis
(al-Mu’minun [23]:
14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan
perkembangan peradabannya (Lukman [31]: 20). Maka alam dapat dan harus dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti
hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia
memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (Yunus [10]: 101).
Jika
kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau
maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu idea
atau dari Nirwana
(Shad [38]: 27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat
agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan
sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi
riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari filsafat materialisme.
Manusia
adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi... (al-Tien [95]: 4, al-Isra’
[17]: 70). Sebagai makhluk tertinggi manusia
dijadikan “Khalifah” atau wakil Tuhan di bumi (al-An’am [6]: 165). Manusia ditumbuhkan dari
bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (Hud [11]: 16). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada
manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di
dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut sejarah.
Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya
terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang
telah ada secara otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada
sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan
tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (al-Ahzab [33]: 72). Ketidakpatuhan itu disebabkan
karena sikap menentang atau kebodohannya.
Hukum dasar alami dari segala yang ada inilah “Perubahan dan perkembangan”, sebab:
segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada
henti-hentinya (al-Ankabut [29]: 20). Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju
kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan
sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (al-Qashas [28]: 88). Di dalam memenuhi tugas
sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju
kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(al-Isra [17]:
72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang
tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya (al-Isra [17]: 36).
Oleh
karena itu hidup yang baik adalah yang
disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (Al Mujadalah [58]: 11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan
menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan
dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya
tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan
dan mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang
Maha Esa (Fushilat [41]:37).
Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan tandingan
terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik menghalangi
perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini
ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi
bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama”, atau yaum al-din, dimana Tuhan
menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja (Al-Fatihah [1]: 4, al-Haj [22]: 56, al-Mukminun [40]: 16). Disitu tidak lagi terdapat
kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang
ada adalah pertanggunganjawab individual
manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah (al-Baqarah [2]: 48). Selanjutnya kiamat merupakan
“Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadia-kejadian (al-A’raf [7]: 187).
II.
Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah
disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia
bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu
keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus
dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) (al-Rum [30]:50).
“Dhamier” atau hati nurani adalah pemancar
keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah
kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa
(al-Dzariyat [51]: 56).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan
tentang diri manusia yang secara asasi
dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi
hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya (al-Taubah [19]: 105 dan al-Najm[53]: 39).
Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri
dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkrit (al-Shaf [61]: 2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya.
Di dalam dan melalui amal perbuatan yang
berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap
kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam
dan melalui amal perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan (al-Nahl [16]:79 dan al-Nisa[4]:111).
Hidup yang
penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang
di dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang
mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya (al-Ankabut [29]: 6).
Dia
diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran (al-Nisa [4]: 125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga
sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban
dan berkebudayaan (al-Zumar [39]: 18).
Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,hikmah)
(al-Baqarah[2]:269).
Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka,
bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (al-An’am [6]: 125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar,
penahan amarah dan pemaaf (Ali Imran[3]:134). Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang
menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya
tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang
manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisikisnya
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua
kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan
kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan
melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,
menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan
individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan
sebagai anggota masyarakat. Hak
dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk
sesama umat manusia.
Baginya
tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan
jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran
niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (al-Bayyinah [98]:5).
Dia
adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar
berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari
kecenderungannya yang suci dan murni (al-Baqarah [2]: 207, al-Insan [76]: 8-9). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai
pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak
memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai
kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan (Fathir [35]: 10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang
ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan paling berharga
(al-Baqarah [2]: 264). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak
ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup
fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang
hanief atau suci.
III.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan
yang insani itu tidak mungkin ada
tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang
murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu
benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan
pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang
dari kemauan baik.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan
sekarang di dunia dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di
akhirat. Dalam aspek pertama
manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul
secara individual, dan komunal sekaligus (al-Anfal [8]: 25). Sedangkan dalam aspek kedua
manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat
baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat
tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi hanya ada pertanggungjawaban
perseorangan yang mutlak
(al-Baqarah [2]: 48, Luqman [31] :33). Manusia dilahirkan sebagai
individu, hidup di tengah alam dan mensyarat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi
individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari
kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai kemanusiaannya sendiri. Karena
individu adalah penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya,
maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi
individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan.
Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder ialah bahwa individu hidup dalam suatu hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam sebagai makhluk
sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh
karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di
tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari
kemanusiaan tidak berarti bahwa manusia
selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan.
Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
yang menguasai alam –hukum
yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri– yang tidak tunduk dan tidak pula
bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya
“keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan “takdir” (al-Hadid [57]: 22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks
hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang
tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang
kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan
akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya
sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan.
Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah pengetahuan
tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi
adanya usaha yang bebas dan dinamakan “ikhtiar” artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar
adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat
sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti
untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya.Kegiatan
merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri
(al-Rad [13]
: 11). Jadi sekalipun terdapat keharusan
universal atau takdir namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai
peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia
tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan
diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada
keharusan yang universal
itu (al-Hadid [57]: 23).
IV.
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah
jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya
bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan
keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah
kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada suatu apapun dari dunia
sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran.
Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi
tujuan hidup. Dan apabila demikian maka sesuai dengan
pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran yang terakhir
dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir
dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam
perbendaharaan bahasa dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan”. Kemudian sesuai dengan uraian Bab
I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (Lukman [31]: 30). Karena kemutlakan-Nya, Tuhan
bukan saja tujuan segala kebenaran (Ali Imran [3]:60). Maka Dia adalah Yang Maha
Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran tentang
Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang
berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau “ridha” dari-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi
karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu
berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran
itu yang terkandung di dalamnya guna mendapatkan persetujuan atau ridha kebenaran mutlak.
Dan hanya pekerjaan “karena
Allah” itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (al-Lail [92]: 19-21).
Kata
“iman” berarti percaya dalam hal ini
percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat pengabdian
diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut
Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Ali Imran [3]:
19). Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh sesama
manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah
manusia yang merdeka yang
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Ahdzab [33]: 49). Semangat tauhid (memutuskan
pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup,
kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat
sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran
akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang
sifat perorangannya adalah dari
keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini
dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan
peradaban kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality),
itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia,
antara kegiatan duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula
sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau
kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam
kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (al-Syu’ara [26]: 226).
Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak
dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu
yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh”
(harfiah; pekerjaan yang selaras dalam hal ini selaras
dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari iman (lihat al-Qur’an: ..aamanu wa a’aamilus shaalihaat, tidak kurang dari 50 pengulangan
kombinasi kata). Jadi ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam
prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan
kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada prikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha
Esa. Prikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (an-Nur [24]: 39). Oleh
karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridha dari-Nya
adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan
akhirnya membawa keruntuhan peradaban (al-Baraah [9]: 109).
“Syirik” merupakan kebalikan dari tauhid,
secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik
adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran
baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan
kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Lukman [31]: 13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan
dilakukan orang karena syirik (al-An’am [6]: 82). Sebab dalam melakukan kejahatan
itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. (Hadis: “sesungguhnya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik
kecil,yaitu riya, pamrih” (Rawahu Amad, hadis hasan)Dia bekerja bukan karena nilai
pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari syirik. Seseorang yang
menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik,
sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (Ali Imran[3]:64). Demikian
pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator)
adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat
dengan Tuhan (al-Qashash [28]: 4). Kedua
pelaku itu merupakan pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.
Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil
(wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan i’tikad
baik dan lebih baik (ihsan). Maka Ketuhanan menimbulkan
sikap yang adil dan baik kepada manusia (al-Nahl [16]:90).
V. Individu
dan Masyarakat
Telah
diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan
bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu
yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia
hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai
makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa
berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka
dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi
dengan lainnya (al-Zuhruf [43]: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa
kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda (Al-Maidah [5]: 48).
Pemenuhan
suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya (al-Lail [92]: 4). Namun sejalan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus
diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah
dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (al-Isra [17]: 84, al-Zummar [39]:
39). Peningkatan kemanusian tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap
orang keluasan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja
yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah
makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik
kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan
yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah merugikan orang lain
(kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Yusuf [12]: 53 dan Rum [30] : 29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga
berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak
terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan antara
hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi
persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya
dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas
tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi
oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti
pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan
dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip
keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling
menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain
untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan tingkat yang
sama. Anggota-anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk
masyarakat yang bahagia (al-Maidah [5]: 5).
Sejarah
dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan
pasif, tetapi
sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala
(akibat baik) bagi satu
amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (al-Zalzalah [99]: 7-8).
Manusia
merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dan
dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (al-Taubah [9]: 74 dan al-Nahl [16] : 30). Semakin seseorang
bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang
terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati
tujuan (al-Ankabut [29]:
69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat
sepenuhnya dinyatakan. Jika
ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup
gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (al-Hujurat [49]:13 dan 10).
VI.
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah
kita bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarakat dimana kemerdekaan
dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika
kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang
bermacam-macam itu satu sama lain dalam
kekacauan atau anarchi
(al-Lail [96]:
8-10). Sudah barang tentu hal itu
menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan
keadilan dalam masyarakat (al-Maidah [5]:8).
Siapakah yang
harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah barang pasti adalah
masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok
dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa
mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan
sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang
berlawanan dengan kemanusiaan (Ali Imran [3]: 104).
Kualitas
terpenting yang harus dipunyai ialah rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran dari
kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan
yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau
setida-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga
agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan
pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab
itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan
fundamental dari didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi
manusia yang menjadi warga negara dari
kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia,
sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam
masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi
yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadis: “kullukum raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an
raiyyatih”, Bukhari-Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah
merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri.
Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah
dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (al-Syura [42]: 38, 42).
Kekuatan yang sebenarnya di dalam
negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada
rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan
dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu).
Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung
tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat
rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan (al-Nisa [4]: 59).
Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada
diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar,
ketaatan kepeda pemirantah termasuk dalam lingkungan ketaatan
kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak)
(al-Nisa [4]: 58).
Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan,
kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Maidah [5]: 45).
Perwujudan
menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan
di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat.
Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau
rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah
merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari
pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (al-Hadid [57]: 20). Karena kemerdekaan tak
terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan
kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu bila sudah mencapai batas maksimal– pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (al-Isra [4]: 16).
Dalam
masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas
dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran
atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada
di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan
antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi. Dikarenakan
kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentang itu disudahi dengan
kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk
pimpinan dalam masyarakat (al-Nisa [4]: 160-161, al-Syu’ara
[26]: 182-183, al-baqarah [2]: 279, al-Qashash [28]: 5).
Kejahatan
di bidang ekonomi yang menyeluruh
adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kepitalisme dengan mudah seseoranmg dapat memeras orang-orang
yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas
hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan
kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh
karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi
kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (al-Baqarah [2]: 278-279). Sesudah syirik kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang
tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (al-Humazah [104] : 1-3). Maka menegakan keadilan inilah
membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan
memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya
secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk
penindasan kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan (nahi mungkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi
atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang
tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan
cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan)
(Ali Imran [3]:
110).
Pembagian
ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha
Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama
sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal
perbuatan yang nyata (al-Shaf [61]: 2-3).
Dalam
suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk
tunduk dan menyerahkn diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta
benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru
dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari kapital itu selanjutnya
lebihmemperbudak buruh.
Demikian pula
terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang
menguasainya Kapital atau
kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh
karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar
sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif
terhadap pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara
mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang
kontinu, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar
akan lebih efektif
dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah
kekejian dan kemungkaran (al-Ankabut [29]:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadis: “Sembahyang adalah tiang agama, barang siapa
mengerjakannya berarti menegakkan aaSembahyang adalah tiang agama, barang siapa
mengerjakannya berarti menegakkan agama, barang siapa meninggalkannya berarti
merobohkan agama”.Bukhari).
Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan
kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu
kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Lukman [31]: 30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain, dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu
keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhaap
kemanusiaan.
Dalam
masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan
kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan
dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari kemampuan-kemampuan pribadi,
fisik maupun mental (al-Rum [30]: 37).
Walaupun
demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat.
Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan
miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas harta
yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat
tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu
masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi
didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia
oleh manusia dihapuskan
(al-Baqarah [2]: 188).
Sebagaimana
ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konsfikasi
penggunaan
dalam masyarakat (al-Furqan [25]: 67). Seseorang dibenarkan
mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas
tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan yang
berlebihan (tabzier atau
israf) bertentangan dengan prikemanusiaan
(al-Isra [17]:
26-27). Kewenangan
selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan masyarakat membuat
akibat destruktif (al-Isra’ [17]: 16) Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat
(taqti) merusakan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang
dapat digunakan untuk manfaat bersama (Muhammad [47]: 38).
Hal
itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan
ini adalah milik Tuhan (Yunus [10]: 55). Manusia seluruhnya diberi hak
yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas kekayaanitu
dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (al-‘Araf [7]:
10).
Pemilikan
oleh seseorang (secara benar) hanya
bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri
harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum (al-Hadid [57]: 7, al-Nur [24]:
33). Maka kalau terjadi kemiskinan,
orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat
dalam hubungan keluarga (al-Ma’arij [70]: 24-25). Adalah kewajiban negara dan
masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan
dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat
menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan
kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan
beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari
seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa
inti dari kemanusiaan
yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh (al-Tien [95]:6).
Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang
terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap
prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh
manusia ?
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak ke depan demikian pula perjalanan umat manusia atau sejarah
adalah gerak maju ke depan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu
berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan)
(al-Qashash [28]
:8 8). Jadi semua nilai yang benar
adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum Tuhan
(al-An’am [6]:
57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan medereka ialah yang bergerak. Gerak itu
tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak
statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (al-Isra’ [17]:36). Dia menghendaki perobahan
terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa
mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu
menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu
pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenran
dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak
sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju
kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat
dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh
alam dan sejarahnya sendiri (Fushilat [41]: 53).
Jadi
ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang
dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang
menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Eesa (Fathir [35]: 28). Dengan iman dan kebenaran
ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (Mudjadalah [58]: 11).
Ilmu pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh
manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan
yang benar antara manusia dan alam
sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang
lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan
tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan
menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi
kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali
mengerahkan kamampuan intelektualitas atau ratio (al-Jasiyah [45]: 13).
Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang
tetap (Ali Imran [3]: 137). Hukum sejarah yang tetap
(sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis
besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamanusiaan
fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa
nafsu (al-Syam [91]: 9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang
lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus
ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan
memperhitungkan masa yang akan datang (Yusuf [12]: 111). Menguasai
dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya
dan membimbingnya ke arah kamajuan dan kebaikan.
VIII.
Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara
garis besar sebagai berikut:
a.
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu
taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu
memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal soleh. Iman
tidak memberi arti apa-apa
bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang
sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban
dan berbudaya.
b.
Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada
Tuhan. Ibadah
mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh
kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief.
Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadah menjadi wewenang penuh dari agama tanpa adanya hak manusia untuk
mencampurinya. Ibadah
yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya ditengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan
merugikan kamanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya
sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk memiliki
kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata.
c. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam
usaha yang sungguh-sungguh secara essesial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat
sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan
masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usah itu
ialah “amar ma’ruf”, di samping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau “nahi
munkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan
kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha
kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai
manusia.
d.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan
“jihad”, yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan
ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar
kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan
keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan
dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi
berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh
dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang
tinggi, dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi
kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang
benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
e.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan
proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah
kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui
arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu
mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu
tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak
akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan
adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu
pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan
perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian
mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.
f.
Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman,
berilmu, dan beramal”.
Rujukan NDP
Dar-dasar kepercayaan
AnNahl ayat 80, Al-Ikhlas, Alhadid
ayat 3-4, Albaqarah ayat 113, Al-An’am ayat 73, Al-Furqan ayat 2, Al-Mu’minun
ayat 14, Luqman 20, Yunus ayat 101, Shad ayat 27, At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat
70, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61, Al-Ahzab ayat 72, Al-‘Ankabut ayat 20,
Al-Qashash ayat 88, Al-Isra’ ayat 36, Al-Mujadalah ayat 11, As-Sajadah ayat 37,
Al-Fatihah ayat 4, Al-Hajj ayat 56, Al-Muknin ayat 16, Al-Baqarah ayat48,
Al-‘Araf 187.
Pengertiandasr tentang kemanusiaan
Ar-Ruum ayat 30, Adz-Dzariyah ayat
56, Ali Imran ayat 134 dan ayat 156,
At-Taubah ayat105, An-najm ayat 39, As-Shof ayat2-3, An-Nahl ayat 97, An-Nisa
ayat 111 dan ayat 125, Al-Ankabut ayat 6, Az-Zumar ayat 18, Al-baqarah
ayat 207, 264, dan ayat 269, Al-An’am
ayat 125, Al-Bayyinah ayat 5, Al-Insan ayat 8-9, Fathir ayat 10.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan
Keharusan Universal (Takdir)
Al-Anfaal ayat 25, Al-Baqarah ayat
48, Luqman ayat 33, Al-Hadid ayat 22-23, Ar-Raad ayat 11.
Ketuhanan YME dan Prikemanusiaan
Luqman ayat 13 dan ayat 30, Ali Imran ayat 19-21 dan ayat
64, Al-Ahzab ayat 39, Asy-Syu’araa ayat 226, An-Nuur ayat 39, At-Taubah ayat
109, Al-Qashash ayat 4, An-Nahl ayat 90.
Individu dan Masyarakat
Az-Zukhruf ayat 32, Al-Maidah
ayat 2 dan ayat 48, Al-Lail ayat 4,
Al-Isra’ ayat 84, Az-Zumar 39, Yusuf ayat 53, Ar-Ruum 29, Al-Zalzalah ayat 7-8,
At-Taubah ayat 74, An-Nahl ayat 30, Asy-Syu’araa ayat 69, Al-Hujarat ayat 13
dan ayat 10.
Keadilan Sosial dan Ekonomi
Al-lail ayat 8-10, Al-Maidah ayat 8
dan ayat 45, Ali-Imroon ayat 104 dan ayat110, Asy-Syuraa ayat 38 dan ayat 42,
An-Nisa ayat 58-59, Al-Hadiid ayat 7 dan
ayat 20, Al-Isra’ ayat 16, An-Nisa’ ayat
160-161, Asy-Syu’araa ayat 182-183, Al-Baqarah ayat 279, Al-Humazah ayat 1-3,
Ash-Shaf ayat 2-3, Al-Ankabut ayat 45, Luqman ayat 30, Ar-Ruum ayat 37,
At-Taubah ayat 60, Al-Baqarah ayat 188, Al-Furqaan ayat 67, Al-Isra’ ayat 16,
Muhammad ayat 38, Yunus ayat 55, Al-A’raaf ayat 10, An-Nuur ayat 33,
Al-Ma’aarij ayat 24-25.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
At-Tiin ayat 6, Al-Qashash ayat 88,
Al-An’am ayat 57, Al-Isra’ ayat 36, As-Sajadah ayat 53, Fathir 28, Ali-Imran
ayat 18 dan ayat 137, Al-Mujadalah ayat 11, Al-Jatsiyah ayat 13, Asy-Syams
9-10, Yusuf ayat 111.
0 comments:
Post a Comment